Pangkalan Bun | Kotawaringin Barat | Kalimantan Tengah | RumahGadang.News | JSCgroupmedia ~ Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Kotawaringin Barat mencatat, sampai dengan 30 Agustus 2023, ada 51 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kasus yang paling menonjol adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual pada perempuan.
Kepala UPTD PPA Kabupaten Kobar Idna Kholila SPsi mengatakan, jika dibandingkan pada tahun sebelumnya di bulan yang sama, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ada 49 kasus, sementara di tahun ini mencapai 51 kasus.
“Ada peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di tahun ini, kasus yang paling menonjol adalah kasus KDRT dan kekerasan seksual terhadap perempuan, sementara di tahun 2022 lalu tidak ada laporan perihal KDRT,” ujar Idna Kholila, Senin (11/9).
Menurutnya, penyebab terjadinya KDRT sebagian besar adalah masalah ekonomi dan juga perselingkuhan, yang akhirnya berujung pada perceraian. Akan tetapi ada juga setelah mengalami KDRT yang akhirnya mengujung damai/rujuk kembali.
“Untuk kasus KDRT tidak semuanya berujung pada perceraian. Adanya yang korban (istri) sudah berdarah-darah, akhirnya berujung damai kembali, akan tetapi sebagian besar KDRT itu akibat faktor ekonomi, dan juga perselingkuhan,” ujar Idna.
Untuk kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, korban berusia di atas 18 tahun, mengalami peningkatan yang sebagian besar pelaku merupakan orang terdekat atau orang dikenal oleh korban.
“Kekerasan seksual terjadi juga pada anak di bawah umur. Pada tahun ini kasusnya lebih dari 10 kasus, sebagian besar korbannya berusia 10 tahun hingga 15 tahun. Kasus ini terus terang saja membuat kami harus kerja keras lagi. Begitu mendapatkan laporan, maka kami pun harus bertemu langsung dengan korban dan diberikan pendamping untuk menghilangkan trauma atas peristiwa yang dia alami,” ujar Idna.
Menurutnya, untuk korban kekerasan seksual ini khususnya bagi anak di bawah umur, pemulihannya sangat lama. Sebagian besar korban ada yang tidak mau sekolah, tidak mau bertemu dengan siapa pun, bahkan ada juga sampai tidak mau makan.
“Untuk korban kekerasan seksual di bawah umur ini, pertama kita lihat dulu siapa pelakunya. Jika pelakunya dari dalam rumah korban, maka korban harus kita keluarkan dari rumah itu, atau kita titipkan ke rumah keluarga korban, mulai dari di situ kami pun terus melakukan pendampingan pemulihan trauma,” imbuhnya.
Menurut Idna, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini bagaikan fenomena gunung es, sehingga untuk menekan angka kasus itu dibutuhkan juga peran aktif masyarakat. Sebab, bagi pelaku sudah jelas ada sanksi hukumnya. Sehingga hal ini yang harus terus disosialisasikan kepada masyarakat.
“Masyarakat saat ini sudah mulai paham ada sanksi hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena itu saat ini banyaknya pelaporan yang masuk. Hal yang paling penting adalah peran orang tua agar terus memantau perkembangan anak-anaknya, agar tidak salah jalan, dan bisa selamat dari cengkeraman orang yang ingin menghancurkan masa depannya,” kata Idna. | RumahGadang.News | Tabengan | c-uli | *** |
Comment