Oleh: Dirwan Ahmad Darwis (Pemerhati Sosio Budaya)
Sistem matrilineal (bersuku ke garis keturunan ibu) dalam adat budaya Minangkabau telah meletakkan kaum perempuan (padusi) di Minangkabau pada kedudukan yang sangat istimewa, mereka diberi kehormatan dan keutamaan menurut adat. Diberi gelar kehormatan sebagai Bundo Kanduang, dengan beberapa hak-hak istimewa, antara lain sebagai; penerima ketentuan menurut garis kesukuan ibu, penerima rumah tempat tinggal, penerima harta pusaka dan sumber ekonomi, penerima dan penyimpan hasil usaha perekonomian, serta pemegang hak suara istimewa dalam bermusyawarah
Bundo Kanduang dalam kaum, merupakan tiang utama di Rumah Gadang, pemegang kunci simpanan khusus, pusek jalo kumpulan ikan (pengatur rumah tangga, sumber penentu baik atau buruk anggota keluarga). Tempat bertanya sebelum pergi, tempat berbagi berita setelah pulang, penyemarak dalam nagari, menjadi hiasan dalam masyarakat, yang diagungkan-dibesarkan dan bertuah. Ketika hidup tempat berniat, ketika mati tempat bernazar, sebagai kain pelindung ke Medinah, jadi payung panji untuk ke sorga. Kata-kata ini dengan jelas menggambarkan bahwa begitu benarlah keistimewaan seorang padusi di Minangkabau.
Sifat-sifat Bundo Kanduang
Ciri-ciri seorang Bundo Kanduang Minangkabau, antara lain; patuah jo taat, manjauhi sumbang jo salah, tau dilarangan jo pantangan, bamalu jo samalu, mampunyoi raso jo pareso, bataratik dan basopan santun, tau dikarajo rumah tanggo. Bana jo luruih (bana di hati, di muluik dan di karajo), cadiak jo pandai, jujur dipicayo, adia, ramah jo panyaba, fasiah babicaro.
Dengan demikian seorang Bundo kanduang akan senantiasa berupaya menjaga agar adat senantiasa terpelihara dan berjalan dengan baik, adat harus dipakai utuh menurut kebutuhannya (adat dipakai baru, kain dipakai usang). Ia harus senantiasa mengingatkan anak cucu dan lingkungannya: ingek di adat nan karusak, jago limbago jan sampai sumbiang, urang ingek pantang takicuah, urang jago pantang kamalingan.
Sebagai warga Minangkabau, kita perlu melihat ke dalam, adakah sifat-sifat Bundo Kanduang itu masih dipakai oleh padusi Minangkabau hari ini? Apakah kalangan padusi Minangkabau hari ini sudah tau dan paham sejarah Minangkabau, Budaya dan Bahasa Minangkabau?
Padusi Minangkabau: Sejarah, Budaya dan Bahasa Minangkabau.
Pengetahuan dan pemahaman sejarah akan membuat seorang padusi Minangkabau tahu dan paham bagaimana sifat dan sikap prilaku seorang Bundo Kanduang yang benar. Pengetahuan sejarah juga akan memberikan mereka pengetahuan tentang kebudayaan, karena sejarah lebih banyak membicarakan budaya suatu kelompok manusia pada zaman-zaman yang sudah berlalu. Karena budaya itu artinya “cara hidup”, sebab itulah di mana ada manusia di sana ada budaya. Lalu, yang banyak mewarnai prilaku kehidupan itu adalah “bahasa.” Makanya dulu sering kita mendengar pribahasa “mulut mu adalah harimau mu, yang dapat menerkam kepala mu”. Pribahasa lama lainnya juga menyatakan “bahasa menunjukkan bangsa.”
Mengapa bahasa sangat memainkan peranan? Karena bahasa itu sangat erat hubungannya dengan pemikiran (Comsky, 1968), yang kemudian akan menjelma dalam prilaku. Bahasa menunjukkan siapa kita, orang Minangkabau bilang; “nan lahie manunjuakkan nan bathin”. Bagaimana pemikiran atau suasana bathin kita, akan ditunjukkan oleh bahasa yang kita ucapkan, untuk kemudian akan tergambar dalam prilaku atau “parangai” kita. Menurut Zahari (2021) “bahasa itu bisa merubah budaya”, artinya bahasa itu dapat merubah cara hidup. Hal ini dijelaskan oleh Rachman (2007) dalam Rajo Endah (2013:xxi) yang menyatakan: .”…Nilai adat, kehalusan sikap, dan materi budaya dalam bahasa daerah, akan lenyap bersamaan dengan kepunahan bahasa tersebut. Sehingga pada akhirnya kepunahan bahasa daerah sekaligus berarti pula kepunahan budaya.”
Untuk lebih jelasnya, kalau hari ini orang Minangkabau meninggalkan bahasanya dan berpindah ke bahasa Indonesia, maka pada saatnya nanti, prilaku dan cara hidup (budaya) Minangkabau akan hilang dan bertukar dengan cara hidup orang Indonesia biasa saja sesuai dengan perubahan zaman. Artinya lagi, pada saatnya nanti orang Minangkabau akan kehilangan jati dirinya, dan hanya akan menjadi “antimun bungkuak”, tidak akan dikenali lagi, karena ciri-ciri khas budayanya sudah hilang.
Sebagai bahan renungan bagi kita orang Minangkabau, penulis menghadiri Kongres Bahasa Daerah Nusantara pertama yang digelar di Kota Bandung pada 2-4 Agustus 2016. Diketahui dalam acara itu dinyatakan secara resmi bahwa sejumlah bahasa daerah di Nusantara ini terancam punah, karena ditinggalkan oleh penutur aslinya yang berpindah ke bahasa lain. Bahasa Minangkabau adalah salah satunya yang dinyatakan terancam punah itu.
Kangkuang dan Prilaku Bundo Kanduang Zaman Kini
Kata “kangkuang” dalam Kamus Baso Minangkabau (Bapayuang, 2015:201) artinya katak besar yang sering mengeluarkan bunyi brisik kang-kuang pada malam hari, atau di kala hujan. Binatang ini berkulit halus dan licin, berjalan dengan cara melompat-lompat, postur dan penampilannya banyak orang tidak suka/menjijikkan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa perubahan zaman telah menghanyutkan sebahagian dari padusi Minangkabau, terutama para pemuja modernisasi yang hanyut dalam arus globalisasi. Prilaku mereka seringkali tidak melihat sisi kearifan dan kecerdasan dalam adat budaya mereka. Bahkan sering terjadi kesalahan dalam memahami adat budaya tersebut, sehingga tergambar dalam sikap dan prilaku mereka. Keadaan ini membuat adat budaya itu sendiri semakin tercemar dan tidak lagi memperlihatkan adat budaya Minangkabau yang berperadaban tinggi.
Tapi lucunya, sebahagian dari mereka masih bangga menamakan diri sebagai “Bundo Kanduang”, terutama yang hidup di perkotaan, nampaknya ada gengsi di sana. Salah kaprah ini sering terjadi, penulis dalam beberapa acara sering memperhatikan prilaku-prilaku menyimpang ini. Contohnya ketika sedang memakai baju kebesaran Bundo Kanduang, mereka yang seharusnya bersikap bersopan santun, anggun dan berwibawa, tapi sebaliknya malah ikut berjoget-joget/menari-nari, terkadang kedua-dua tangan menunjuk-nunjuk ke atas sambil bergoyang-goyang mengiringi alunan musik. Bahkan saking riang gembiranya, tak jarang terdengar suara tapakiak tapikau, sambil ta-onjak-onjak atau terlompat-lompat meniru gaya prilaku orang-orang yang sedang mabuk sambil menari-nari di dalam ruangan diskotik berbudaya Barat.
Pernah pula penulis melihat, ada anak gadis Minangkabau cantik yang sedang memakai suntiang di kepalanya, juga ikut menari-nari kegirangan. Semua hal ini, tentu sangat lah tidak pantas bila dilihat dari sudut pandang pelestarian seni budaya dan jati diri Minangkabau. Dengan demikian, mereka-mereka ini sebetulnya tidak pantas lagi disebut Bundo Kanduang, tapi amat sesuai dipanggil sebagai “bundo kangkuang”, karena perangainya yang suka melompat-lompat dan berteriak-teriak seperti kangkuang itu.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Tulisan ini dibuat sama sekali bukan dengan niat jahat yang bertujuan untuk menjelek-jelekkan pribadi atau kelompok-kelompok tertentu. Tapi ia didasari dengan niat baik, untuk menyadarkan, agar budaya kita tetap lestari, agar anak cucu generasi kita yang akan datang tetap mewarisi prinsip-prinsip adat budayanya secara utuh. Walaupun untuk hal-hal tertentu akan ada penyesuaian yang wajar sesuai dengan tuntutan zaman.
Dari hasil penelitian penulis, dapat disimpulkan bahwa kekeliruan-kekeliruan yang terjadi dalam berbagai hal terkait pelaksanaan/pengamalan/praktek adat budaya Minangkabau hari ini, seyogianya bukanlah kesalahan kita. Tapi ada tangan-tangan tersembunyi yang memang menginginkan suku-suku kaum/etnik di Indonesia atau di negeri Melayu/Islam, terutama Minangkabau ini, agar para generasinya berjarak dengan sejarahnya, dengan budayanya dan dengan bahasanya. Artinya dalam hal ini, para padusi Minangkabau yang hanyut ini, yang tidak paham dengan prinsip dan adat budaya terkait sosok dan peranan Bundo kanduang ini, sebenarnya adalah “korban”, yakni korban pembodohan tangan-tangan tersembunyi itu.
Lantas apa yang harus dilakukan agar para padusi Bundo Kanduang ini tidak menjadi bundo kangkuang? Pertama, mereka harus menyadari bahwa menjalankan adat budaya itu ada ilmunya, harus berguru dan ada yang menunjuk-ajar. Kedua, setiap organisasi-organisasi Minangkabau yang ada, baik di ranah maupun (terutama) di tanah rantau, sebaiknya mempunyai penasehat sosio budaya terdiri dari orang-orang yang memang pakar/paham dalam hal itu. Kalau tidak punya pakar, adakan kelas budaya secara berkala, hadirkan guru-guru yang sesuai, hal ini sebagai langkah pembekalan kepada para anggota agar tidak lagi salah kaprah dan berbuat seenaknya.
Anak-anak Minangkabau dari ranah yang akan merantau, mencari kerja, atau untuk berusaha, atau merantau untuk menuntut ilmu, sudah selayaknya dibekali dengan pengetahuan jati diri, agar jati dirinya sebagai anak Minangkabau tidak luntur dan hilang. Agar nanti di tanah rantau mereka tidak tergadai atau hanyut dengan budaya orang lain. Dengan demikian, mereka perlu mempelajari sejarah, budaya Minangkabau serta manfaat bahasa Minangkabau. Ketiga-tiga unsur ini merupakan dasar/pondasi dalam membangun jati diri suku kaum/etnik atau suatu bangsa.
Seiring dengan sudah berlakunya Undang-undang (UU) Sumatera Barat NO. 17, tahun 2022, maka pemerintah (terutama pemerintah daerah Kota dan Kabupaten) sangat perlu untuk kembali menghadirkan pelajaran bermuatan lokal: Budaya Alam Minangkabau (BAM) untuk SD dan SMP, sebagai dasar pengetahuan dan pemahaman terhadap prinsip-prinsip Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) yang merupakan dasar jati diri Minangkabau. Serta mengajarkan ABS-SBK itu sendiri di tingkat SMA. Terima kasih, semoga bermanfaat!
(DAD, Lundang, Panampuang 21/06/23).
Comment